Masa remaja beliau habiskan di kampung halamannya, di wilayah utara provinsi Aceh.
Menurut pengakuan beliau, ketika masih remaja hobinya adalah permainan sepak bola. Postur tubuh yang agak mungil menjadikan gerakan beliau menggiring si kulit bundar terlihat lincah. “Teman-teman memanggil saya dengan sapaan, ‘MakNu’. Ujar sang Ustaz.
Pada usia remaja tersebut beliau sudah rutin mengikuti taklim yang diisi secara berkala oleh salah seorang ustaz yang merupakan alumni Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri (UIN Ar-Raniri, sekarang).
Dari situ lah hasrat mempelajari ilmu Agama mulai tumbuh di hati beliau. Cita-citanya selepas SMA nanti adalah belajar di IAIN Ar-Raniri Banda Aceh; Ibu kota Provinsi Aceh.
Maka Muhammad Nur Adami muda pun merantau ke kota Banda Aceh. “Saya berfikir semua dosen di IAIN sama kualitasnya seperti ustaz Fulan di daerah saya”. Demikian ungkap Ustaz Muhammad Nur Adami atau akrab di sapa dengan ustaz Abu Nu, sambil tersenyum mengungkapkan awal mula hijrah beliau ke kota Banda Aceh.
Pada akhirnya beliau tidak pernah menyelesaikan studinya di kampus Agama di wilayah Darusalam tersebut. Otomatis beliau tidak memiliki ijazah sarjana atau menyandang gelar Doktorandus (Drs). Gelar tersebut mungkin asing bagi sebagian generasi, itulah salah satu gelar sarjana strata satu zaman dulu.
Namun proses menuntut ilmu tidak pernah putus. Pada masa-masa itu beliau mengenal dakwah Sunnah pertama sekali melalui guru beliau yang bernama lengkap Ustaz Drs. Faisal Hasan Sufi.
Seorang Ustaz Kibar yang pernah berguru langsung dan bermajelis kepada Syekh Islam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.
Selama kuliah; tepatnya pada masa pemerintahan Orde baru Ustaz Abu Nu aktif di Organisasi Pelajar Islam Indonesia.
Salah satu hal yang membuat PII cukup terkenal dan dicatat dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia adalah sikap tegas pemimpin dan pengurusnya dari pusat hingga daerah yang menentang dan tidak setuju dengan Asas Tunggal yang diputuskan secara sepihak oleh penguasa Orde Baru.
Pemerintahan Orde Baru pada masa itu mengharuskan Pancasila sebagai Asas Tunggal yang dicantumkan secara tertulis oleh setiap Organisasi dan lembaga non Pemerintah. Sehingga semua embel-embel lain adalah terlarang dan harus berurusan dengan pihak berwenang.
Karena Ustaz Abu Nu aktif di PII maka beliau juga jadi person yang ditarget oleh aparat pemerintah.
Dalam situasi yang tidak menguntungkan tersebut maka Ustaz Abu Nu memutuskan untuk hijrah sementara waktu ke Pulau Jawa, tepatnya ke Jakarta.
Berurusan dengan Pemerintah Pusat, mengapa tempat pelariannya ke Pusat Pemerintahan?
Silakan pembaca yang budiman menafsirkan sendiri strategi tersebut.
Beberapa waktu tinggal di Jakarta dan sekitarnya, Ustaz Abu Nu kembali lagi ke Aceh.
Babak baru perjalanan hidup dan dakwah Ustaz H. Muhammad Nur Adami pun di mulai kembali.
Beliau memutuskan bermukim di kota Banda Aceh dan aktif berdakwah di sana paska jatuhnya Orde Baru.
Kemudian dilanjutkan dengan Orde Reformasi hingga beliau wafat pada hari Senin 15 Rabiul Akhir 1442 H atau 30 November 2020 di masa pemerintahan Orde Kartu.
Semoga Allah Ta’ala menerima amal ibadah Ustaz Abu Nu. Mengaruniakan beliau Surga Firdaus di Sisi-Nya dan memberikan beliau magfirah jika ada kesalahannya.
Sesungguhnya Allah Maha Dekat dan Maha Memberi Ampunan.
InsyaaAllah bersambung . . .
Oleh: Fakhrizal Idris