Dalam podcast youtube-nya, sosok ini mengungkapkan bahwa hampir semua mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Amerika pada masa itu, memanfaatkan celah sistem yang ada di negara paman Sam.
Uang logam Rp. 50 pada masa tersebut berat dan ukurannya hampir setara dengan 25 sen di Amerika. Padahal nilai 25 sen di Amerika bisa 50 kali lipat koin Rp. 50.
Koin tersebut bisa digunakan untuk bayar mesin cuci (laundry), bisa untuk menelepon di fasilitas telepon umum. Maka membawa uang logam Rp. 50 dalam jumlah banyak setiap datang dari Indonesia menjadi kebiasaan mahasiswa indonesia di era awal 80-an.
Hak konsumen di Amerika pada masa yang sama juga sangat besar. Antara lain, boleh mengembalikan barang elektronik atau pakaian yang di beli selama masa tenggang satu bulan. Pemilik channel youtube tersebut mengatakan, “Tiga bulan pertama di California saya beli televisi terus, hari ke-28 saya kembalikan. Ketika pemilik toko bertanya mengapa tidak jadi beli? Saya jawab, “Tidak suka warnanya.”
Karena hal tersebut hak konsumen, maka uang tetap dikembalikan.
Lawan bicara yang diwawancarai punya pengalaman lain yang unik. Karena sambungan langsung jarak jauh (internasional) 3 menit pertama di Amerika pada masa itu gratis, maka setiap kali menelepon ke Indonesia sebelum tiga menit gagang telepon di tutup. Begitu seterusnya agar bisa menelepon gratis. Tidak peduli meskipun operator telepon bertanya, “Mengapa sambungan telepon anda putuskan berkali-kali?” Jawabnya enteng, “Bad connection.”
Pemilik channel youtube tersebut kemudian menambahkan bahwa, ada teman mereka yang juga mahasiswa mengambil peluang lain yaitu mengambil uang asuransi. Setiap melihat mobil agak tua maka kacanya di lempar batu, selanjutnya dia mengajukan klaim asuransi atas kesalahan tersebut. Lalu kaca mobil yang pecah diganti dengan yang bekas (padahal dari pihak asuransi dapat uang untuk harga baru) dan sisanya masuk kantong.
Pemilik channel tersebut namanya Helmy Yahya, tamu podcastnya bernama Sandiaga S. Uno. Sedangkan yang hobi lempar batu klaim asuransi namanya Mardigu.
Itu kisah mereka bertiga.
Para sahabat Nabi Muhammad ﷺ punya kebiasaan duduk di masjid selepas shalat subuh. Mereka sering berbagi cerita tentang masa jahiliyah sambil tertawa dan Nabi ﷺ hanya tersenyum mereka.
Simak bin Harb mengisahkan bahwa dia pernah bertanya kepada Jabir bin Samurah, “Pernahkah kamu duduk bersama Rasulullah ﷺ?” Jawab Jabir, “Sangat sering. Beliau biasanya tidak beranjak dari tempat shalat (di mana beliau shalat) Subuh, sebelum terbit matahari. Apabila matahari telah terbit barulah beliau bangkit. Selama duduk-duduk itu, para sahabat ada yang bercakap-cakap membicarakan urusan masa jahiliah, lalu mereka tertawa, sedangkan beliau hanya tersenyum.”
Kembali ke peluang memanfaatkan celah yang ada pada sistem. Bahwa secanggih apa pun suatu sistem, jika tidak diselaraskan dengan kualitas manusia, akan ada saja jalan yang ditempuh untuk melanggarnya.
Oleh karenanya manusia yang paling pintar adalah manusia yang bertakwa kepada Allah Ta’ala.
Karena pada posisi tersebut manusia yakin ada aturan yang harus dijalankan, karena tidak ada celah untuk diabaikan.
Tidak ada kesalahan yang bisa disembunyikan, karena suatu saat lembaran catatan akan dibukakan.
Manusia yang beriman dan bertakwa adalah sebagaimana disifatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu,
التقوى هي الخوف من الجليل، والعمل بالتنزيل ، والقناعة بالقليل، والإستعداد ليوم الرحيل
“Takwa adalah takut kepada Allah, mengamalkan aturan (Allah), bersikap kanaah (atas karunia Allah), dan bersiap diri untuk perjalanan (bertemu Allah).”
Smart phone bagus, smart home bagus, smart grid bagus dan smart city bagus. Semua yang pintar-pintar tersebut bagus, namun yang terpenting adalah proyek membangun manusia pintar (bertakwa). Karena jika manusia tidak bertakwa semua proyek pintar tersebut bisa dibuat tidak pintar, bukan menjadi bodoh tapi menjadi tidak berdaya.
Oleh: Fakhrizal Idris