قُلِ اللّٰهُمَّ مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَاۤءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاۤءُۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاۤءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاۤءُ ۗ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۗ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali ‘Imran: 26)

Ulama tafsir menyebutkan bahwa ‘Kekuasaan’ atau Al-Mulk yang disebutkan Allah Ta’ala dalam ayat tersebut maknanya antara lain dan yang paling utama adalah Nubuat atau Kenabian. Sebelumnya, Nubuat ada pada Bani Israil kemudian Allah Ta’ala cabut dan berikan kepada Bani Ismail yaitu Nabi Muhammad ﷺ.

Makna tersebut selaras dengan firman Allah Ta’ala dalam surat berikutnya,

فَقَدْ اٰتَيْنَآ اٰلَ اِبْرٰهِيْمَ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاٰتَيْنٰهُمْ مُّلْكًا عَظِيْمًا

Sungguh, Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) yang besar.” (QS. An-Nisa’: 54)

Nubuat adalah tingkat kekuasaan yang paling tinggi, karena para nabi ditaati secara lahir dan batin. Sedangkan para penguasa dan pemimpin urusan dunia, hanya ditaati secara lahiriah saja.

***

Para ulama adalah pewaris para nabi.

Kekuasaan para raja bisa dicabut dan dilepaskan serta bisa diberhentikan dari kekuasaannya, sedangkan kekuasaan para ulama tidak bisa diperlakukan demikian. Gelar tersebut senantiasa disandangnya dimana pun mereka berada.

Salah seorang mantan wakil presiden Indonesia pernah mengatakan perkataan yang maknanya, “Pejabat dan penguasa ditaati dan ditakuti, sedangkan ulama ditaati dan dicintai.”

Sosok yang sama juga menegaskan bahwa tidak mudah melakukan sertifikasi ulama, karena gelar tersebut diberikan oleh masyarakat dan khalayak.

Namun dari sisi lain sangat disadari bahwa tanggung jawab ulama tidak ringan dan mudah.

***

Pada masa Orde Baru, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibentuk. Presiden Soeharto adalah salah seorang inisiator pembentukannya. Ketika itu yang dipilih sebagai ketua adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), artinya beliau ketua MUI pertama.

Mendengar rencana tersebut, Buya Mohammad Natsir, Teungku Daud Beureueh, dan beberapa tokoh besar lainnya datang menemui Buya Hamka. Buya Mohammad Natsir yang bertindak sebagai juru bicara menyampaikan satu kalimat singkat, “Wahai Buya, rebah Tuan rebahlah kami.”

Oleh: Fakhrizal Idris

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *