Oleh: Fakhrizal Idris

Uang dan harta memang dapat melunakkan hati manusia. Maka dari itu jika diperhatikan dengan saksama, satu dari delapan golongan mustahik atau orang-orang berhak menerima zakat adalah golongan mualaf (Al-Muallafati Quluubuhum). Mualaf artinya orang yang ingin dilunakkan hatinya.

Allah Ta’ala berfirman,

۞ اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf)…” QS. At-Taubah:60

Mal atau harta benda dari asal katanya dalam bahasa Arab bermakna kecondongan dan kecenderungan. Dan secara tabiat manusia condong dan suka kepada harta.

Jika ada yang mengatakan uang bukan segalanya, maka ada pula yang membantah bahwa dengan mengatakan, “Semuanya perlu uang.”

Adakah manusia dan hal yang tidak bisa dibeli dengan uang dan harta?

***

Penguasa negeri Saba` pada masa Nabi Sulaiman alaihissalam adalah seorang perempuan penuh akal dan muslihat.

Ketika dia mendapatkan surat ajakan untuk menerima Islam dari Nabi Sulaiman alaihissalam, maka tindakan yang dia lakukan adalah mengirimkan hadiah berupa harta benda yang sangat berharga kepada Nabi Sulaiman alaihissalam. Tujuannya sangat jelas, untuk menaklukkan hati Sang Nabi. Padahal dalam musyawarah sebelumnya Ratu Saba` sempat mendapat masukan untuk langsung berperang dengan senjata.

Namun metode penaklukkan hati dengan harta menjadi opsi Sang Ratu dengan harapan Sang Nabi tidak lagi melanjutkan jalan dakwahnya ke negeri Saba`.

Akan tetapi Sang Nabi buka tipe manusia yang menerima rasuah, meskipun dibungkus dengan bungkusan hadiah.

Ada masa di mana pemberian disebut hadiah, namun ada pula masa pemberian adalah rasuah.

Ternyata tidak semua manusia bisa dibeli dengan uang dan harta.

Atau orang yang menerima rasuah merasa rasuah yang diberikan lebih baik dari pemberian dan rezeki dari Allah Ta’ala yang telah dan masih dia terima dan nikmati.

Karena Nabi Sulaiman alaihissalam dengan tegas menyatakan bahwa apa yang Allah berikan kepada beliau lebih baik dari dari harta rasuah yang diberikan.

فَلَمَّا جَاۤءَ سُلَيْمٰنَ قَالَ اَتُمِدُّوْنَنِ بِمَالٍ فَمَآ اٰتٰىنِ َۧ اللّٰهُ خَيْرٌ مِّمَّآ اٰتٰىكُمْۚ بَلْ اَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُوْنَ

Maka ketika para (utusan itu) sampai kepada Sulaiman, dia (Sulaiman) berkata, “Apakah kamu akan memberi harta kepadaku? Apa yang Allah berikan kepadaku lebih baik daripada apa yang Allah berikan kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” QS. An-Naml: 36

***

Abdullah bin Abi Rabiah dan Amru bin Al-Ash pernah memberikan hadiah kepada An-Najasyi penguasa Habasyah. Hadiah tersebut diberikan keduanya dengan tujuan melunakkan hati Sang Raja, untuk kemudian dia menyerahkan Jakfar bin Abi Thalib dan kaum Muslim yang pada saat itu sedang mendapatkan perlindungan suaka politik di negeri Habasyah.

An-Najasyi menolak dengan tegas dan mengembalikan hadiah yang dia sebut sebagai rasuah dan berkata kepada Amru bin Al-Ash,

فَوَاللهِ مَا أَخَذَ اللهُ مِنِّي الرِّشْوَةَ حِيْنَ رَدَّ عَلَيَّ مُلْكِي

“Demi Allah, (dulu) Allah tidak pernah mengambil rasuah dariku ketika Dia (Allah) mengembalikan kerajaan ini kepadaku.”

Mungkin manusia yang menerima rasuah, ketika dia mendapat jabatan dan amanah tersebut dengan memberi rasuah.

Karena An-Najasyi menegaskan bahwa alasan dia menolak rasuah, karena dia mendapatkan kembali kerajaan yang pernah direbut oleh paman dan rakyatnya tanpa harus memberi rasuah kepada siapapun, termasuk kepada Allah Ta’ala.    

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *