Seorang mahasiswa melakukan penelitian tentang kehidupan sekelompok pemuka agama yang berkhidmat untuk jamaah dan rumah ibadah mereka.
Penelitian tersebut menjadi bahan untuk menyusun tugas akhir sang mahasiswa sebelum dia berhak menyandang gelar sarjana psikologi dari salah satu universitas ternama di jakarta.
Pemuka agama yang dimaksud adalah mereka yang terikat janji dan tidak diperkenankan menikah seumur hidup. Aktivitas dalam sepanjang hidup mereka hanya mengabdi kepada agama dan rumah ibadah saja.
Hasil dari wawancara dan tanya jawab intensif dengan para pengabdi dan pelayan agama tersebut mengantarkan pada kesimpulan bahwa hal tersulit yang dihadapi oleh pemuka-pemuka agama tersebut bukanlah kondisi dimana mereka dilarang untuk menikah.
Kondisi paling sulit yang mereka hadapi justru ada pada larangan dan pembatasan untuk untuk berinteraksi dengan orang-orang.
Mereka dianggap manusia suci yang dibatasi kegiatan sosial dengan manusia lainnya.
***
Islam adalah syariat dan manhaj yang paripurna, menganjurkan nikah dan melarang setiap Muslim dan Muslimah melakukan puasa berbicara.
Muslim yang hidup berinteraksi dan bersabar terhadap cobaan dalam bersosial dengan manusia lebih baik dari manusia yang hidup beruzlah dan tidak mau bersabar ketika bersosial dengan orang banyak.
Dalam perjalanan hidup yang penuh hiruk pikuk ternyata ada saja momen di mana seseorang merasa kesepian, padahal dia berada di tengah keramaian dan bumi ini dihuni oleh manusia yang berjumlah sekitar 7 milyar jiwa.
Jika seseorang ingin diajak bercakap-cakap maka membaca Al-Quran adalah solusinya karena Al-Quran adalah kalamullah, Sang Pemilik Kalam mengajak hamba-Nya bercakap-cakap dalam setiap ayat.
Jika seseorang ingin bercakap-cakap dan didengarkan apa yang dia ucapkan, maka shalat adalah solusinya. Karena ketika shalat seseorang sedang bercakap-cakap dengan Rabbnya.
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ
“Jika kalian sedang berdiri di dalam shalatnya, maka sesungguhnya dia sedang berbicara dengan Rabbnya.” (HR. Al-Bukhari no. 390)
Oleh: Fakhrizal Idris