Pembagian rezeki berbentuk hewan kurban telah Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ
“Maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj:36)
Ada tiga golongan yang memanfaatkan hewan kurban, pertama pemilik kurban. Kedua: orang yang membutuhkan (meskipun tidak memintanya). Ketiga: orang yang membutuhkan (dengan meminta secara berterus terang).
Berapa bagian masing-masing?
Imam asy-Syafi’i berusaha menyederhanakan masalah dengan menegaskan bahwa, karena zahir ayat tersebut menyebutkan tiga golongan maka dibagilah secara merata di antara mereka. Artinya masing-masing mendapatkan sepertiga.
Suatu ketika tiga serangkai yang semua mereka laki-laki melakukan perjalanan. Perjalanan tersebut sedikit ada hambatan berupa hujan yang mengharuskan mereka berteduh di sebuah gua di kaki gunung. Pemilik cerita mengatakan bahwa akhirnya mereka memutuskan untuk bermalam di dalam gua tersebut. Takdir Allah mereka terjebak di dalam gua tersebut karena ada batu besar yang menggelinding dari atas gunung kemudian menutup mulut gua.
Sahdan, mereka pun bermusyawarah tentang bagaimana menyelamatkan diri dari musibah tersebut. Salah seorang dari mereka mengatakan bahwa, “Tidak mungkin kita akan selamat kecuali karena keikhlasan. Maka marilah setiap kita bertawasul kepada Allah dengan amal (baca: kerja) yang dianggap paling ikhlas ketika dia melakukannya.”
Laki-laki pertama pun berdoa, “Ya Allah, dulu saya pernah bekerja dengan cerdas mengelola harta milik seseorang yang awalnya berjumlah sedikit; beberapa kilo biji-bijian. Saya mengelolanya hingga bisa membeli sapi, kemudian beranak pinak hingga sangat banyak.
Suatu hari pemiliknya datang dan meminta hartanya tersebut. Maka saya pun menyerahkan semua harta orang tersebut (yang telah terakumulasi dan berlipat ganda padahal mulanya hanya sedikit). Dia pun mengambilnya tanpa menyisakan untuk saya sedikit pun. Ya Allah, jika hal tersebut (kerja cerdas dan kejujuran) yang pernah saya lakukan tersebut ikhlas karena-Mu. Maka bebaskanlah kami dari musibah ini.” Maka, batu besar tersebut pun sedikit terbuka.
Laki-laki kedua berdoa, “Ya Allah, dulu saya hidup bersama kedua orangku yang sudah sepuh. Setiap malam saya membawakan mereka minuman susu kambing. Namun suatu malam saya pulang terlambat, sehingga ketika itu kedua orang tuaku telah lelap tertidur. Saya tidak ingin membangunkan keduanya dan juga tidak mau anak dan istri saya mendahului ayah dan ibu saya dalam meminum susu tersebut. Meskipun malam itu, anak dan istri saya telah merintih kelaparan. Maka saya pun menunggu keduanya bangun hingga fajar menyingsing. Kemudian memberi keduanya minum susu tersebut. “Ya Allah, jika seandainya hal tersebut (kerja tuntas) ikhlas karena-Mu, maka bebaskanlah kami dari musibah ini.”
Batu yang menutupi gua tersebut kembali terbuka, hingga mereka dapat melihat indahnya langit di luar sana, namun belum cukup lapang untuk mereka bisa keluar.
Laki-laki ketiga berkata, “Ya Allah, dahulu saya punya sepupu perempuan. Saya begitu mencintainya sebagaimana lazimnya seorang laki-laki mencintai seorang perempuan, dan dia begitu spesial bagiku dari semua perempuan yang ada. Saya pun berusaha membujuknya agar dia menyerahkan jiwa dan raganya kepadaku, namun dia menolak. Suatu ketika dia datang kepadaku dalam kondisi sulit dan membutuhkan uang. Saya pun menegaskan bahwa saya bersedia memberinya bantuan dengan syarat dia menyerahkan jiwa dan raganya kepada saya, maka dia pun bertekuk lutut dihadapanku. Saya kemudian bekerja keras mengumpulkan uang sebanyak seratus dinar. Ketika saya sudah berhasil mengumpulkannya dan saya serahkan seratus dinar emas (hasil kerja keras saya) tersebut dan segala sesuatu hampir saja terjadi. Sepupu perempuan saya itu berkata, “Wahai fulan, takutlah kepada Allah dan jangan engkau merenggut sesuatu kecuali dengan sah.”
Maka saya pun meninggalkannya dan menyerahkan seratus dinar emas tersebut kepadanya. “Ya Allah, jika seandainya hal tersebut (meninggalkan kerja yang tidak sah tersebut dan memberikan bantuan seratus dinar) saya lakukan ikhlas karena takut kepada-Mu, maka bebaskanlah kami dari musibah ini.” Maka Allah Ta’ala pun bukakan bagi mereka jalan keluar.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dengan sanad yang shahih.
Zahirnya, doa yang dipanjatkan dengan bertawasul melalui kerja keras yang ikhlas, kerja cerdas yang ikhlas dan kerja tuntas yang ikhlas, dari setiap laki-laki tersebut hanya berefek sepertiga terhadap bergesernya batu yang menutup pintu gua tersebut. Sehingga ketika tiga doa tersebut terintegrasi menjadi kesatuan yang utuh, tercapailah tujuan mereka dan selamat dari musibah.
Jika titik tekan dan fokus hanya kerja, kerja dan kerja. Maka aktivitas yang sedang berjalan sebenarnya hanya sepertiga saja. Karena kerja yang pertama sama dengan kerja yang kedua dan kerja yang ketiga juga idem. Atau malah hanya nol besar, karena kerjanya tidak keras, tidak cerdas, dan tidak tuntas.
Sedangkan jika kerja yang pertama adalah kerja keras (yang ikhlas). Yang kedua adalah kerja cerdas (yang ikhlas). Dan yang ketiga adalah kerja tuntas (yang ikhlas) maka setiap kerja yang demikian memberikan kontribusi yang berbeda, dan ketika digabungkan jadilah satu (kesatuan yang utuh).
Kembali kepada kisah tiga orang tersebut, setiap mereka memiliki amalan pemungkas yang dapat digunakan untuk bertawasul kepada Allah Ta’ala. Jika seandainya yang berada di dalam gua yang gelap dengan cuaca yang dingin karena hujan tersebut bukan tiga orang, akan tetapi empat orang. Dan orang yang keempat adalah saya atau anda wahai pembaca yang budiman. Adakah amal saleh yang bisa digunakan untuk bertawasul kepada Allah Ta’ala ketika doa dipanjatkan!!!
***
Oleh: Faris al-Biruny