Abu Muhammad; Abdurrahman bin Muhammad bin Idris bin Al-Mundzir Al-Hanzhaliy atau lebih dikenal dengan Ibnu Abi Hatim Ar-Razi (w. 317 H) dalam mukadimah kitabnya “Al-Jarhu wa At-Ta’diil”menyebutkan kisah ayah beliau dalam menuntut ilmu.
Suatu ketika Abu Hatim Ar-Razi (w. 277 H) sedang dalam perjalanan di atas kapal yang mengarungi lautan. Malam itu beliau mimpi basah, “ihtalamatu” kata beliau. Ketika waktu menjelang fajar beliau pun menginformasikan masalah yang dihadapinya kepada beberapa sahabat seperjalanan. Kapal pada masa tersebut hanya mengangkut orang, air tawar terbatas dan sepertinya tidak ada fasilitas toilet.
Mereka mengusulkan agar Abu Hatim mencemplungkan dirinya ke air laut untuk mandi janabah. Beliau berterus terang bahwa tidak mahir berenang. Maka mereka mengusulkan untuk mengikat beliau dengan tali kemudian Abu Hatim bergelantungan dari kapal ke air untuk mandi.
Kisah berlanjut, Abu Hatim pun bergelantungan di udara antara kapal dan air laut yang dalam. Ketika air sudah terjangkau tangan beliau mengatakan kepada para sahabatnya, “Tahan dulu saya sebentar, saya mau berwudu terlebih dahulu.”
Setelah selesai berwudu beliau berkata, “Sekarang cemplungkan saya ke air.” Maka mereka pun mengulurkan tali lebih panjang agar Abu Hatim bisa menyelesaikan mandinya di dalam air laut tersebut.
Setelah selesai beliau berkata, “Angkatlah saya.” Maka mereka pun mengangkat beliau kembali ke kapal.
Tidak terlalu sulit mendeskripsi kisah tersebut, apalagi di masa sekarang ini dimana biaya listrik tertinggi per kWh Rp.1.444,70 untuk menyalakan komputer jinjing, masih lebih murah dibandingkan menulis dengan tinta dan kertas seperti masa Ibnu Abu Hatim menulis kitab “Al-Jarhu wa At-Ta’diil.”
Namun mungkin tak pernah terlintas di benak dan sulit dibayangkan, seseorang yang sedang bergelantungan dari atas kapal yang terombang-ambing dihembuskan angin ditengah lautan, meminta kepada para sahabatnya untuk menahan dia bergelantungan di udara untuk berwudu terlebih dahulu sebelum dicemplungkan dan mandi di dalam air laut.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa berwudu sebelum mandi janabah perkara yang bersifat mustahab atau anjuran. Bahkan Ibnu Qudamah menukilkan ijmak atau konsensus ulama atas masalah tersebut.
Namun bagi segolongan orang, sunnah Nabi Muhammad ﷺ terlalu agung untuk ditinggalkan.
Inilah keutamaan ilmu yang ada pada generasi tempo doeloe yaitu salaf dari generasi zaman now yaitu khalaf.
Ibrahim bin Adham rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang, “Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗ
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (QS. Ghafir: 60)
Kami sudah berdoa, namun belum diijabah Allah Ta’ala.”
Ibrahim bin Adham menjelaskan bahwa penyebab doa tidak diijabah ada lima:
عَرَفْتُمُ اللَّهَ فَلَمْ تُؤَدُّوا حَقَّهُ
“Kalian mengetahui tentang Allah, namun tidak kalian tunaikan hak-Nya”
وَقَرَأْتُمُ الْقُرْآنَ فَلَمْ تَعْمَلُوا بِمَا فِيهِ
“Kalian membaca Al-Quran, namun tidak kalian amalkan isi-nya”
وَقُلْتُمْ نُحِبُّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَرَكْتُمْ سُنَّتَهُ
“Kalian mengatakan cinta Rasulullah ﷺ, namun kalian tinggalkan sunnah-nya.”
وَقُلْتُمْ نَلْعَنُ إِبْلِيسَ وَأَطَعْتُمُوهُ
“Kalian mengatakan, ‘Kami membenci iblis, namun kalian menaati-nya.”
وَالْخَامِسَةُ تَرَكْتُمْ عُيُوبَكُمْ وَأَخَذْتُمْ فِي عُيُوبِ النَّاس
“Kelima, kalian melupakan aib diri sendiri, aib orang lain kalian punya.”
Oleh: Fakhrizal Idris