Dia telah lima belas tahun bekerja di mini market kampus Internasional yang mahasiswanya berasal dari 155 negara.
Dalam bahasa Arab mini market disebut dengan Baqqalaah, pegawainya disebut Baqqaal.
Hingga dipertengahan tahun 2007 sejak dia pertama sekali bekerja di mini market tersebut, ‘Ammi al Baqqaal ini mengamati perilaku yang berbeda dari kebanyakan mahasiswa dalam berbelanja di mini market tempat dia bekerja.
“Dulu, mahasiswa ketika datang ke mini market mereka membeli roti, ‘ashiir (jus), susu atau keju. Namun sekarang (sejak tahun 2007 dan setelahnya), setiap mahasiswa yang datang ke Baqqalaah, yang mereka cari adalah rashiid (pulsa) handphone.” Ujar sang paman paruh baya yang berasal dari negeri Sudan tersebut.
Fenomena tersebut memang sangatlah nyata, bahkan jika seorang mahasiswa membeli satu liter susu kemasan atau sekotak tisu, pasti dia minta pulsa HP bersamanya.
Bahkan pernah terjadi dialog antara dua orang mahasiswa.
Mahasiswa A bertanya kepada temannya mahasiswa B, “Ente baru keluar dari Baqqalaah, tapi mengapa tidak beli apa-apa?
“Ane tadi beli pulsa HP.” Jawab mahasiswa B.
Mahasiswa A kembali bertanya, “Trus nggak beli makanan.”
Mahasiswa B menjawab, “Ini tidak diisi tidak mengapa (sambil menunjuk ke arah perutnya), yang penting ini terisi (sambil menunjuk ke HP Nokia dengan layar hitam putih).”
Maklum, mahasiswa B masih pengantin baru. Pernikahannya berusia tak lebih dari tiga bulan, namun harus berpisah karena tugas menuntut ilmu.
Perlu diketahui bahwa pada masa itu, pulsa HP masih dalam bentuk fisik dan harus digesek untuk mendapatkan nomor pulsa isi ulangnya.
Kesimpulannya, HP dan pulsa telah mengubah orientasi belanja dan pengeluaran. Padahal, pada waktu yang bersamaan nominal terkecil dari pulsa tersebut, cukup untuk membeli satu jilid kitab yang berkualitas, baik materi pembahasan dan bahan cetaknya.
Dan mahasiswa dalam dialog tersebut tinggal di asrama dalam lingkungan kampus.
****
Saat ini banyak hal yang memalingkan pengeluaran dan pendapatan seseorang pada hal yang sifatnya instan dan pemanfaatannya sangat singkat.
Mobil misalnya, ketika sesorang membeli mobil padahal dia belum memiliki rumah, maka biaya perawatannya mesti dianggarkan dan harus dikeluarkan, meskipun mobil itu tidak dipakai. Karena, jika dibiarkan lama tidak terpakai aki mobil akan soak atau lemah.
Padahal harga sebuah mobil sama dengan harga sebuah rumah mungil. Bahwa jika seandainya proses pembeliannya mencicil, maka nilai cicilan sebuah mobil sama dengan nilai cicilan rumah.
Bedanya, setelah 10 atau 15 tahun harga mobil pasti turun, sedangkan harga rumah semakin mengalami kenaikan.
Memilih kenikmatan jangka pendek dan sesaat sering dilakukan oleh kaum milenial saat ini. Padahal ada pilihan proyeksi kehidupan yang dapat dinikmati dan dirasakan manfaatnya 10-20 tahun ke depan.
Hobi minum kopi dengan merek tertentu dengan harga Rp25000-50000 sering jadi kebiasaan, padahal harganya tidak jauh berbeda dengan kopi kemasan dengan harga Rp1500.
Jika pilihan dan kebiasaan ini terus berlanjut, generasi milenial yang demikian akan membebani generasi setelahnya yaitu generasi Z. Masa tua yang bergantung pada kaum muda.
Padahal generasi Z saat itu terjadi mungkin saja masih memiliki tanggungan yaitu anak-anaknya yang masih perlu disantuni.
Mewariskan kesejahteraan lebih baik daripada mewariskan kekhawatiran.
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
“Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).” QS. 4:9
Oleh: Fakhrizal Idris